KOTA CIREBON || Rapat paripurna DPRD Kota Cirebon yang beragendakan pergantian pimpinan (ketua) dewan sudah sesuai aturan dan asas kecermatan dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian.
"Jadi, tidak ada dasar paripurna pergantian pimpinan DPRD dinilai cacat hukum. Sebelumnya, sudah dilakukan konsultasi ke Kejaksaan Negeri Cirebon dan meminta masukan para pakar. Saya memaknai paripurna pada konteks pergantian pimpinan bukan saja sebagai amanat konstitusi, namun jalan tengah antara Affiati dan Gerindra. Ini bentuk asas ketidakberpihakan DPRD serta menghormati hak konstitusi Gerindra serta Affiati, " tandas Yadie Supriyadi, pemerhati politik dan pemerintahan di Kota Cirebon.
Pernyataan tersebut disampaikan Yadie kepada wartawan media ini, Rabu (16 Februari 2022), menanggapi adanya pihak yang menilai rapat paripurna cacat hukum.
Menurutnya, rapat paripurna juga sudah dijadwalkan Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Kota Cirebon dan ditandatangani Affiati.
Ia menambahkan, pada prinsipnya DPRD tidak punya kehendak absolut untuk menurunkan Affiati dari jabatan ketua. Sebab, masih ada tindakan hukum lebih tinggi untuk mengubah kedudukan dan kewenangan Affiati lewat pengesahan SK gubernur.
"Esensi dari terjadinya paripurna pergantian pimpinan ini karena SK DPP Gerindra yang masih proses sengketa pada tingkat kasasi. Jika kita telisik sepanjang proses gugatan yang dilakukan Affiati terhadap DPP Gerindra, harus diakui secara langsung atau tidak telah berpengaruh pada suasana kebatinan yang kurang harmonis di Griya Sawala (DPRD). Hal ini juga menimbulkan polemik yang berlarut-larut. Merujuk pada asas kepentingan umum maka tindakan melakukan paripurna ini, sekali lagi saya apresiasi untuk kebaikan semua pihak, " lanjut dia.
Pascaparipurna, tambah Yadie, meski hak dan kewajiban Affiati sebagai ketua DPRD masih melekat namun secara etik sebaiknya tidak menandatangani keputusan yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
"Pertama, Affiati sudah diberhentikan lewat paripurna yang keputusannya bersifat kongkrit dan final. Kedua, sesuai aturan pasal 36 ayat 4 PP 12 tahun 2018. Ketiga. dasar pengesahan Affiati menjadi ketua adalah SK DPP Gerindra hingga saat ini masih dalam proses sengketa di pengadilan, " paparnya.
Yadie berpendapat, tiga hal ini dapat menjadi dasar unsur pimpinan lain untuk melaksanakan tugas ketua sebagai pertimbangan menghindari terjadinya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan DPRD.
"Prinsipnya, ketua atau wakil ketua pada sistem kolektif dan kolegial mempunyai kekuatan hukum sama pada tindakan keputusan rapat paripurna. Untuk memenuhi asas kepastian hukum pada titik fase ini maka antara Afiati sebagai penggugat dan Gerindra tergugat menunggu keputusan pengadilan yg berkekuatan hukum tetap. Jadi, kita tunggu saja hasilnya, " pungkas Yadie Supriyadi. (Subekti)